Index Sumut – Sebanyak 48 nama menteri dan 5 pejabat setingkat menteri, dan 59 wakil menteri resmi diumumkan Presiden Prabowo Subianto yang akan membantu pemerintahannya bersama Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk periode 2024-2029 di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (20/10) malam.

Dalam susunan kabinet pemerintahan periode 2024-2029 ini terlihat ‘gemuk’. Berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, dimana kabinet Prabowo berjumlah 48 kementerian, jauh lebih banyak ketimbang kabinet Joko Widodo yang berjumlah 34 kementerian.

Sejumlah kementerian baru dibentuk dan sejumlah lain dipecah. Sementara, jumlah kementerian koordinator yang sebelumnya hanya empat pada era pemerintahan Jokowi, kini menjadi tujuh.

Pengamat Ekonomi dari Universitas Sumatera Utara (USU), Wahyu Ario Pratomo menilai, dilihat dari postur kementerian yang bertambah banyak ini, berarti pemerintah perlu mengalokasikan anggaran lebih besar untuk membiayai operasional kementerian yang baru dibentuk.

“Ini bisa menjadi beban bagi anggaran negara, terutama jika tidak diimbangi dengan output dan outcome kegiatan kementerian yang tidak memberikan hasil yang maksimal,” ujar Wahyu Ario Pratomo, Senin (21/10).

Namun demikian, Wahyu Ario Pratomo menilai, beberapa kementerian dalam pemerintahan Prabowo yang dipecah dapat dilihat dari berbagai sisi. Ada keuntungan dan tantangan yang dapat muncul akibat pemisahan kementerian tersebut.

Keuntungannya antara lain pertama, kata Wahyu, pemisahan kementerian memungkinkan setiap kementerian memiliki fokus yang lebih dalam terhadap pengembangan sektor dan juga permasalahan yang menjadi tanggung jawabnya.

“Kementerian pendidikan misalnya, pemisahan antara Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi dengan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah memungkinkan penanganan yang lebih spesifik terhadap kebutuhan pendidikan,” ujar Wahyu, Senin (21/10).

Kedua, lanjutnya, pemisahan kementerian menggambarkan bahwa sektor-sektor tertentu memiliki potensi besar untuk pertumbuhan, sehingga diperlukan perhatian dan sumber daya yang lebih terfokus. Hal ini dapat membantu sektor-sektor yang mungkin memerlukan strategi berbeda untuk berkembang, seperti ekonomi kreatif dan pariwisata yang memiliki kebutuhan kebijakan berbeda.

“Ketiga, dengan kementerian-kementerian dipisah maka pengukuran tanggung jawab terhadap masing-masing sektor bisa menjadi lebih terukur. Dengan pengelolaan yang lebih terfokus, lebih mudah bagi pemerintah dan masyarakat untuk mengevaluasi kinerja kementerian terkait dalam mencapai target,” ujarnya.

Sementara itu, sambung Wahyu, tantangan pemisahan kementerian dapat menyebabkan duplikasi fungsi dan kebijakan antar kementerian.

“Sebagai contoh sektor kebudayaan. Ada kemungkinan Kementerian Kebudayaan, Ekraf dan Pariwisata memiliki beberapa area kebijakan yang tumpang tindih, terutama pengembangan ekonomi kreatif yang berbasis kebudayaan yang menjadi andalan pariwisata,” katanya.

“Hal ini juga bisa memperpanjang proses koordinasi antar lembaga, yang berpotensi menimbulkan kebingungan dalam pelaksanaan kebijakan di lapangan,” sambung Wahyu.

Wahyu menyebutkan, jika tidak dikelola dengan baik, pemisahan kementerian bisa memicu perbedaan pandangan atau prioritas antar kementerian. Konflik kebijakan semacam ini bisa menurunkan efektivitas pemerintah secara keseluruhan jika tidak ada koordinasi yang kuat.

“Apalagi di Indonesia, sampai saat ini ego sektoral masih cukup tinggi, dan pembengkakan anggaran belanja pemerintah yang membengkak akibat lembaga yang berkembang. Contohnya saja pemekaran daerah, mendorong belanja dana perimbangan yang juga berkembang. Pertambahan kementerian juga dipastikan akan menambah belanja karena jumlah menteri dan SDM nya yang juga meningkat,” pungkasnya. (R)

Share: