Medan, Index Sumut — Harga minyak kelapa sawit (CPO) menunjukkan ketahanan yang cukup kuat di tengah ketidakpastian geopolitik dan ancaman gagalnya negosiasi tarif dengan Amerika Serikat.

Hingga akhir pekan lalu, harga CPO kembali menguat ke level 4.062 ringgit per ton, setelah sempat turun akibat gejolak geopolitik Timur Tengah yang mereda.

Pengamat Ekonomi Sumatera Utara, Gunawan Benjamin, menilai bahwa meskipun pasar saat ini bersikap wait and see menjelang tenggat negosiasi tarif pada 9 Juli mendatang, sejumlah faktor kunci berpeluang menjaga harga CPO tetap stabil, bahkan cenderung menguat.

“Meskipun kesepakatan tarif antara Indonesia dan AS tidak tercapai, ada alasan kuat yang mendasari mengapa harga CPO bisa tetap bertahan. Faktor global, regional, hingga domestik masih sangat mendukung,” ujar Gunawan, Senin (7/7/2025).

Empat Alasan Harga CPO Bisa Bertahan:

1. Efek Domino Tarif AS-China
Gunawan menjelaskan bahwa kebijakan tarif yang diberlakukan AS bisa memicu reaksi balasan dari negara lain, termasuk China.

“Jika China membalas dengan tarif terhadap produk pesaing sawit seperti kedelai, maka permintaan CPO bisa meningkat karena berkurangnya substitusi,” jelasnya.

Ini membuka peluang ekspor lebih besar ke pasar utama seperti China dan India.

2. Kesepakatan Dagang Indonesia-Uni Eropa
Indonesia dikabarkan telah mencapai titik terang dalam perundingan Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) dengan Uni Eropa. Menurut Gunawan, ini adalah angin segar untuk industri sawit nasional.

“Uni Eropa bisa menjadi mitra strategis baru bagi ekspor produk turunan sawit, menggantikan potensi kehilangan pasar di AS,” katanya.

3. Kenaikan Serapan Biodiesel Domestik
Peningkatan konsumsi biodiesel dalam negeri juga menjadi penopang kuat harga CPO.

“Jika ekspor lesu, pasar domestik bisa menjadi penyerap utama. Ini yang membuat harga tetap terjaga,” ungkap Gunawan.

4. Daya Saing Produk Sawit yang Masih Unggul
Meskipun banyak tantangan, produk turunan sawit tetap menjadi pilihan utama di pasar global.

“Produk sawit kita masih unggul secara biaya dan efisiensi. Jika kesepakatan tarif dengan AS tercapai atau kembali normal, potensi pertumbuhan ekspor sawit dan turunannya bisa mencapai 5–10% tahun ini dibanding 2024,” tutur Gunawan optimistis.

Vietnam Jadi Barometer

Sementara itu, Vietnam menjadi satu-satunya negara ASEAN yang telah mencapai kesepakatan tarif dengan AS. Namun kesepakatan tersebut justru dianggap lebih menguntungkan AS dan merugikan China, menjadikannya sebagai barometer yang memengaruhi posisi tawar negara lain, termasuk Indonesia.

“Kita tentu berharap bisa mendapatkan tarif yang lebih bersahabat dibanding Vietnam. Tapi jika pun tidak tercapai, industri sawit kita masih punya banyak opsi untuk tetap tumbuh,” pungkas Gunawan. (R)

Share: