RIAU, Index Sumut – Sumber daya alam bisa menjadi berkah atau kutukan. Tanpa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), kekayaan alam justru bisa membuat bangsa terlena dan tertinggal.

Pesan ini ditegaskan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Prof. Brian Yuliarto saat berbicara di hadapan ratusan mahasiswa penerima beasiswa TELADAN Tanoto Foundation dalam acara Tanoto Scholars Gathering 2025 di Komplek RAPP, Pangkalan Kerinci, Riau, Kamis (24/7/2025).

“Jadi memang bangsa besar itu ditentukan dari seberapa ia menguasai teknologi, bukan resources. Makanya ada yang namanya natural resource itu kutukan, karena orang-orang yang punya kekayaan alam akhirnya mereka gagal membangun industri, karena sudah telanjur nyaman dan secure seolah-olah cukup dengan menjual kekayaan alam,” papar Menteri Brian.

Ia menyinggung kegagalan Indonesia dalam memanfaatkan peluang saat masa keemasan ekspor minyak pada dekade 1970–1980-an. Lonjakan harga minyak dunia saat itu semestinya bisa menjadi titik tolak penguatan industri nasional, namun kesempatan tersebut terlewatkan.

“Kita gagal mengonversi kapasitas atau kemampuan modal kita menjadi kapasitas intelektual dan kapasitas industri. Industri kita saat itu tidak terlalu kuat dan sangat berat untuk generate pendapatan sehingga bisa diangkat sebagai negara berpendapatan tinggi,” sambungnya.

Akibatnya, Indonesia tertinggal dalam hal pendapatan per kapita, bahkan dibandingkan negara-negara tetangga. Menteri Brian menyebut pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berkomitmen untuk mengejar ketertinggalan tersebut dengan menekankan pentingnya iptek.

“Kita ingin negara kita tegak di kancah internasional. Kuncinya adalah bagaimana membuat industri kita maju, membuat sesuatu yang berguna. Pak Presiden menitipkan pesan, hanya bangsa yang menguasai sains dan teknologi akan menjadi bangsa yang berhasil,” tegasnya.

Oleh karena itu, Menteri Brian menekankan peningkatan ketajaman intelektual generasi muda Indonesia. Ia mendorong mahasiswa untuk terus menambah pengetahuan.

“Saya selalu bilang baca buku, baca referensi, itu sesuatu yang harus menjadi habit semua leaders, semua orang-orang hebat. Anda harus punya kebiasaan ini setiap hari,” ujar Guru Besar ITB itu.

Ia membandingkan kebiasaan membaca di negara maju dengan kebiasaan di negara berkembang. “Saya studi di luar negeri. Salah satu kebiasaan orang-orang di sana itu baca buku di mana-mana. Buku juga sering dijadikan souvenir. Nah, kalau di negara berkembang saya perhatikan masih plakat-plakat,” ucap doktor bidang Teknik Kuantum dan Ilmu Sistem dari Universitas Tokyo, Jepang ini.

Era disrupsi, menurut Menteri Brian, justru membuka peluang besar untuk menciptakan inovasi baru. “Disrupsi ini yang digemari orang-orang yang challenging, yang senang tantangan. Adik-adik (mahasiswa) bisa berpacu dengan kompetensi, dengan kapasitas, dengan skill, menuju tangga-tangga yang memang penting,” ujarnya.

Namun, ia menyayangkan turunnya minat belajar di bidang STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika), padahal bidang ini menjadi tulang punggung kemajuan iptek. “Saya dulu Dekan di ITB. Jumlah yang ingin masuk (di bidang STEM) sekarang itu turun. Semakin jarang, saingannya semakin dikit,” ujar Dekan Fakultas Teknologi Industri ITB periode 2020–2024 ini.

Sebagai akademisi, Menteri Brian mengaku tantangan di bidang STEM di Indonesia sangat kompleks. Ia membandingkan dengan pengalamannya sebagai mahasiswa dan peneliti di Jepang, yang bisa fokus hanya pada bidang riset. Meski demikian, ia optimistis talenta muda Indonesia tetap punya semangat juang yang tinggi.

Ia mencontohkan perjuangan mahasiswa dari keluarga sederhana yang rela hidup hemat demi bisa mengenyam pendidikan. Ketekunan dan kegigihan, menurut Menteri Brian, tak kalah penting dari kecerdasan. Ia menyebut Thomas Alva Edison sebagai contoh nyata dari daya juang tanpa henti.

“Kebetulan saya juga peneliti. Meneliti itu proses yang terus-menerus, saya enggak pernah berhenti, karena saya percaya akan selalu ada hasil—something must happen. Tinggal bagaimana kita punya endurance-nya. Jadi jangan pernah lelah mengejar cita-cita. Kejar terus, sampai dapat,” pesannya.

Tanoto Scholars Gathering

Tanoto Scholars Gathering (TSG) merupakan forum tahunan yang mempertemukan mahasiswa penerima beasiswa Tanoto Foundation dari seluruh Indonesia. Dalam acara ini, peserta berkesempatan untuk membangun jejaring, belajar dari tokoh-tokoh inspiratif, serta mengenal dunia kerja dan ekosistem kepemimpinan di Tanoto Foundation.

TSG merupakan bagian dari program TELADAN, program beasiswa dari Tanoto Foundation, organisasi filantropi independen di bidang pendidikan yang didirikan Sukanto Tanoto dan Tinah Bingei Tanoto pada tahun 1981. Program ini berbeda dengan program beasiswa lain, karena tidak hanya menawarkan beasiswa, namun juga pelatihan kepemimpinan terstruktur sejak semester dua hingga semester delapan, serta pendampingan alumni setelah lulus.

Tahun ini, TSG kembali dilaksanakan pada 24–26 Juli 2025 di Komplek RAPP, Pangkalan Kerinci, Riau. Sebanyak 291 Tanoto Scholars hadir dalam kegiatan ini. Mereka berasal dari universitas mitra Tanoto Foundation antara lain IPB University, Universitas Diponegoro, Universitas Gadjah Mada, Universitas Brawijaya, Universitas Indonesia, Universitas Sumatera Utara, Institut Teknologi Bandung, Universitas Hasanuddin, Universitas Mulawarman, Universitas Riau, dan Universitas Andalas. (R)

Share: