MEDAN, Index Sumut – Fenomena profit taking atau aksi ambil untung kembali mewarnai pergerakan pasar saham Indonesia pada akhir Oktober ini. Setelah sempat menembus level 8.100 poin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi ke posisi 7.915,66.

Kepala Bursa Efek Indonesia (BEI) Perwakilan Sumatera Utara, M. Pintor Nasution, menilai bahwa kondisi ini merupakan bagian dari siklus alami pasar yang sehat, bukan sinyal pelemahan fundamental.

Menurut Pintor, profit taking adalah tindakan investor untuk merealisasikan keuntungan setelah harga saham naik cukup tinggi. Aksi tersebut biasanya dilakukan untuk mengamankan hasil investasi, terutama setelah periode kenaikan signifikan.

“Ketika harga saham sudah melonjak cukup tinggi, sebagian investor akan memilih menjual sebagian atau seluruh kepemilikannya. Ini bukan tanda pasar melemah, melainkan bentuk kedisiplinan dalam mengelola keuntungan,” ujar Pintor, Selasa (28/10).

Ia menjelaskan, fenomena ini sering muncul setelah rilis data ekonomi positif atau saat indeks mencapai rekor baru. Dalam periode Oktober, tekanan jual terutama terlihat pada saham-saham sektor perbankan dan industri dasar, karena banyak pelaku pasar yang memanfaatkan momentum untuk mengunci cuan.

Meski demikian, BEI menegaskan bahwa koreksi akibat profit taking tidak perlu dikhawatirkan. Menurut Pintor, pergerakan semacam ini justru diperlukan agar pasar tidak melaju di luar kewajaran.

“Pasar saham tidak bisa terus naik tanpa jeda. Seperti manusia, pasar perlu menarik napas agar bisa berlari lebih jauh. Profit taking adalah bagian dari proses penyesuaian yang menjaga keseimbangan harga,” katanya.

Pintor juga mengingatkan, bagi investor pemula, penurunan indeks akibat profit taking sering disalahartikan sebagai tanda krisis. Padahal, jika koreksi masih dalam batas wajar dan tidak disertai perubahan fundamental, justru bisa menjadi peluang membeli kembali di harga yang lebih rendah.

“Kuncinya adalah memahami nilai perusahaan dan tidak panik. Pasar yang sehat adalah pasar yang terkadang terkoreksi, karena dari situlah kesempatan baru muncul,” jelasnya.

Ia menambahkan, di pasar modal yang lebih matang, aksi ambil untung dianggap wajar dan bahkan menunjukkan kedewasaan investor. Fluktuasi harga akibat profit taking memperlihatkan bahwa mekanisme pasar berjalan sebagaimana mestinya — di mana pelaku pasar bertransaksi berdasarkan perhitungan nilai, bukan sekadar euforia.

“Pasar yang selalu naik tanpa koreksi justru berbahaya, karena bisa membentuk gelembung harga. Sebaliknya, koreksi yang dipicu oleh profit taking adalah tanda bahwa investor kita sudah semakin rasional,” tegas Pintor.

Lebih jauh, BEI Sumut mengimbau investor untuk tetap fokus pada tujuan jangka panjang. Menurutnya, keberhasilan investasi bukan hanya soal membeli di harga rendah, tetapi juga mengetahui kapan saat tepat untuk menjual dengan tenang dan terukur.

“Menetapkan target keuntungan dan batas risiko sejak awal adalah bentuk disiplin yang wajib dimiliki setiap investor. Profit taking bukan akhir dari perjalanan, melainkan bagian dari strategi menuju investasi yang berkelanjutan,” tutup Pintor. (R)

Share: