Medan, Index Sumut — Di tengah ketidakpastian global akibat konflik Iran-Israel yang sempat mendongkrak harga minyak mentah dunia, prospek industri sawit nasional menunjukkan sinyal positif. Harga crude palm oil (CPO) sempat melonjak dari kisaran 3.800-an menjadi 4.120-an ringgit per ton, sebelum kembali melemah ke level 4.000-an ringgit.

Menurut Pengamat Ekonomi Sumatera Utara, Gunawan Benjamin, lonjakan harga CPO menjadi angin segar bagi pelaku industri sawit, termasuk petani. Namun, ia mengingatkan bahwa tren kenaikan tersebut lebih dipengaruhi sentimen pasar global ketimbang peningkatan permintaan riil.

“Produksi CPO diperkirakan naik signifikan pada bulan Juli ini. Secara month to month, kami melihat potensi kenaikan hingga 17%,” ujar Gunawan, Rabu (25/6/2025).

Ia menyebutkan, meski sebagian pabrik kelapa sawit (PKS) hanya akan mengalami kenaikan produksi di bawah 5%, peningkatan ini tetap menjadi sinyal pulihnya produktivitas setelah melewati musim paceklik atau trek.

Namun, di balik prospek cerah itu, Gunawan menggarisbawahi adanya tantangan besar dari sisi ekspor.

“Ancaman kenaikan tarif dari Amerika Serikat masih menjadi bayang-bayang. Jika permintaan ekspor melemah akibat kebijakan tarif yang belum tuntas dinegosiasikan, maka kelebihan produksi berisiko tak terserap pasar,” katanya.

Lebih lanjut, Gunawan menjelaskan bahwa ketidakseimbangan antara produksi dan penyerapan CPO di hilir dapat berujung pada turunnya harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani.

“Jika perusahaan refinery tidak mampu menyerap tambahan pasokan, maka dampaknya akan kembali dirasakan petani dalam bentuk harga TBS yang stagnan atau bahkan melemah,” ujarnya.

Sebagai solusi jangka pendek, Gunawan mendorong pemerintah dan pelaku usaha untuk memperkuat penyerapan domestik, salah satunya lewat program biodiesel.

“Diversifikasi pasar domestik, khususnya untuk energi terbarukan, bisa menjadi penyangga ketika pasar ekspor tidak bersahabat,” pungkasnya. (R)

Share: