
Medan, Index Sumut — Sejumlah indikator ekonomi penting dari dalam negeri menjadi perhatian utama pelaku pasar hari ini. Di tengah ekspektasi rilis data inflasi nasional siang nanti, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar Rupiah justru terpantau melemah, seiring dengan tekanan sentimen global dan kekhawatiran pasar atas sikap hawkish The Fed.
Pengamat Pasar Keuangan Sumatera Utara, Gunawan Benjamin, menilai bahwa pasar masih bersikap wait and see terhadap data inflasi Indonesia yang diperkirakan berada di level 0,2% secara bulanan (month-to-month).
“Meski data inflasi belum dirilis, pasar sudah menunjukkan kecenderungan koreksi. Ini karena tekanan dari luar negeri masih sangat kuat, terutama terkait sikap The Fed dan ketegangan perang tarif,” ujar Gunawan di Medan, Jumat (1/8).
Sebelum rilis data inflasi, S&P Global merilis angka Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia yang naik ke 49,2. Meskipun ada perbaikan dibanding bulan sebelumnya, posisi tersebut masih di bawah ambang batas 50, yang mengindikasikan bahwa sektor manufaktur nasional masih berada dalam fase kontraksi.
“PMI yang membaik sebenarnya memberikan sinyal positif, tetapi belum cukup kuat untuk mengangkat pasar. Pelaku pasar masih menanti arah kebijakan ekonomi yang lebih jelas, termasuk data neraca perdagangan dalam waktu dekat,” tambah Gunawan.
Pada sesi pembukaan perdagangan, IHSG sempat menguat ke level 7.545, namun potensi koreksi masih terbuka lebar mengingat mayoritas bursa saham di kawasan Asia bergerak di zona merah. Gunawan memproyeksikan IHSG akan bergerak dalam rentang 7.475 hingga 7.570 menjelang akhir pekan.
Sementara itu, Rupiah dibuka melemah ke level Rp16.515 per dolar AS, tertekan oleh sentimen global yang terus mendukung penguatan greenback. Pidato yang akan disampaikan oleh Gubernur The Fed malam ini diperkirakan akan kembali mengonfirmasi sikap untuk menahan suku bunga acuan, yang dapat memperkuat Dolar AS lebih lanjut.
“Kebijakan The Fed yang cenderung hawkish, diperkuat oleh ketegangan geopolitik dan perang tarif, menempatkan mata uang negara berkembang seperti Rupiah dalam posisi rawan tekanan,” jelas Gunawan.
Adapun untuk harga emas dunia, logam mulia kembali mengalami koreksi dengan diperdagangkan di kisaran USD 3.291 per troy ounce, atau sekitar Rp1,75 juta per gram di pasar domestik. Penguatan Dolar AS menjadi beban utama bagi aset safe haven ini.
“Harga emas kemungkinan belum akan pulih sebelum ada kejelasan arah kebijakan suku bunga The Fed. Pasar sangat sensitif terhadap retorika yang keluar dari bank sentral AS saat ini,” tutup Gunawan. (R)