Index Sumut – Harga jagung mengalami kenaikan yang cukup tajam belakangan ini. Harga jagung terpantau mulai mengalami kenaikan sejak Oktober 2023.

Dimana kala itu, harga jagung masih di kisaran Rp6 ribu per Kg. Namun, saat ini harga jagung pipil sudah mencapai Rp7.700 per Kg nya. Sementara, jagung giling sudah mencapai Rp8 ribu per Kg.

“Harga jagung tersebut adalah harga dimana peternak membeli pakan (jagung). Kenaikan harga jagung tersebut memang berpotensi membuat peternak daging ayam maupun peternak telur ayam mengalami kerugian. Terlebih untuk peternak daging ayam mandiri, karena kenaikan biaya input produksi tidak lantas membuat harga daging ayam di pasaran juga ikut naik,” ujar Ketua Tim Pemantau Harga Pangan Sumut, Gunawan Benjamin, Selasa (6/2).

Gunawan menyebutkan, dalam 4 bulan belakangan harga daging ayam sempat ditransaksikan dalam rentang Rp23 hingga Rp32 ribu per Kg. Saat ini harga daging ayam berada di kisaran Rp30 hingga Rp32 ribu per Kg mengacu kepada PIHPS di Kota Medan.

“Padahal di saat harga jagung masih di kisaran Rp6 ribuan saja, harga kontrak ayam di kandang berkisar Rp21 ribu per Kg nya. Dengan harga segitu, maka harga keekonomian di pedagang pengecer sekitar Rp31 hingga Rp33 ribu per Kg nya,” ujarnya.

“Sayangnya harga jagung yang naik belakangan ini, tidak lantas mendorong kenaikan harga daging ayam maupun telur ayam. Dan dari pantauan di pasar, dalam dua bulan terkahir saja terjadi kenaikan harga pakan ternak sebanyak Rp500 per Kg nya. Tetapi harga daging ayam mentok di angka Rp32 ribu. Memang kita mengkuatirkan gimana nasib peternak mandiri nantinya,” sambungnya.

Karena, menurutnya, peternak mandiri yang paling terdampak dengan kenaikan biaya input produksi tersebut. Sementara menaikkan harga justru bisa membuat konsumen beralih ke sumber pangan subtitusi seperti telur, tahu/tempe atau ikan segar.

“Konsumen sangat sensitif dengan kenaikan harga belakangan ini. Dan dari beberapa kali menghitung ekspektasi produksi, penurunan produksi juga tidak lantas memicu kenaikan harga di level konsumen,” katanya.

Jadi memang pasar daging ayam berpeluang membentuk struktur pasar oligopoli seperti yang disampaikan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) Sumut. Tetapi mekanisme pasar yang membuatnya menjadi seperti itu.

Menurutnya, perusahaan daging ayam terintegrasi memang berpeluang bertahan di tengah tekanan kenaikan biaya input produksi, dibandingkan dengan peternak mandiri.

Tetapi jika nanti banyak peternak mandiri yang merugi atau bahkan gulung tikar karena kenaikan harga jagung dan menyisakan peternak besar (perusahaan) terintegrasi, maka itu bukan salah mereka (perusahaan). Mekanisme pasar yang membuat struktur pasarnya menjadi oligopoli.

“Saya harap KPPU bisa mendalami lagi dinamika pasar yang berkembang belakangan ini. Karena daya beli yang melemah membuat mekanisme pasar menseleksi produsen efisien yang mampu bertahan,” pungkasnya. (R)

Share: