
Index Sumut – Pengamat Ekonomi Sumut, Gunawan Benjamin menilai, kebijakan opsen pajak hanya mempermudah distribusi pendapatan masing-masing daerah khususya pemerintah daerah tingkat dua (kabupaten/kota), atas bagi hasil pembayaran pajak yang selama ini masuk ke rekening pemerintah provinsi.
“Jadi ini hanya mempermudah teknis pendistribusian pendapatan daerah saja,” ujar Gunawan, Rabu (8/1).
“Kalau beban pajaknya relatif tidak akan jauh berbeda dari beban sebelumnya. Kenapa relatif? Karena sangat tergantung dari kebijakan daerah masing-masing. Sebagai contoh, ada aturan lama UU No.28/2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah atau PDRD. Dimana dalam aturan tersebut maksimal tarif PKB adalah 2%,” ujarnya.
Dan dalam aturan baru yang mengacu pada UU HKPD, tarif paling tinggi menjadi hanya 1.2%. “Nah pendekatan relatif tadi karena bisa saja masing-masing daerah menerapkan tarif yang berbeda, paling banyak 1.2% atau bisa di bawah 1.2%. Dan opsen pajak yang sebesar 66%, itu dikalikan dengan pajak setelah maksimal 1.2% itu tadi,” sambungnya.
Jadi endingnya beban pajak relatif tidak akan jauh berbeda antara sebelum dan sesudah penerapan opsen pajak. Jadi konsumen bisa menghitung secara mandiri nantinya, dan kalaupun terjadi kenaikan angkanya juga tidak terlalu signifikan.
Tapi, kalau seandainya konsumen mengeluhkan terjadi kenaikan beban pajak yang besar dan angkanya berbeda dengan kebijakan setelah adanya opsen pajak, maka sebaiknya konsumen lakukan perhitungan ulang.
“Bisa ditanyakan langsung ke penjual kendaraan. Karena ada kenaikan PPN dari 11% menjadi sebesar 12% yang diperuntukan untuk barang mewah. Jadi saya menilai kenaikan opsen pajak tidak akan merogoh isi dompet kita terlalu dalam. Tetapi kenaikan PPN, ini bisa membuat beban yang lebih besar bagi konsumen untuk membeli kendaraan,” pungkasnya.
Opsen Pajak
Dilansir dari sobatpajak.com, pada Pasal 1 Ayat 61 UU HKPD menjelaskan bahwa Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu. Dilihat dari pengertiannya opsen bisa disamakan dengan konsep piggyback tax. Konsep piggyback tax ini adalah sebuah sistem pengenaan pajak dari pajak lain yang dibayarkan sebesar persentase yang ditentukan.
Inovasi ini dibuat dengan tujuan mempercepat penerimaan bagi kabupaten/kota atas Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).
Dengan adanya skema opsen pajak daerah, penerimaan PKB dan BBNKB akan langsung terbagi antara penerimaan milik pemerintah provinsi dan penerimaan milik pemerintah kabupaten/kota tanpa perlu lagi melakukan proses bagi hasil dari provinsi ke kabupaten/kota.
Jenis Opsen Pajak
Pada UU HKPD Pasal 81 menjelaskan bahwa terdapat 3 jenis pajak yang akan dikenakan opsen, ketiganya adalah Opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), dan Opsen Pajak Mineral Bukan Logam Batuan (MBLB). Pemungutan Opsen akan dilakukan bersamaan dengan pajak yang dikenakan opsen. Nantinya jumlah opsen akan dihitung dari besaran pajak terutang.
Besaran tarif yang dikenakan untuk ketiga opsen berdasarkan UU HKPD pasal 83 adalah sebagai berikut:
Opsen PKB sebesar 66%
Opsen BBNKB sebesar 66%
Opsen Pajak MBLB sebesar 25%
Besaran Opsen akan dihitung dengan cara mengkalikan tarif opsen dengan besaran pajak yang terutang.(R)