
Medan, Index Sumut — Pasar keuangan Asia dibuka dengan tekanan setelah China merilis data inflasi bulan Juni yang menunjukkan terjadinya deflasi sebesar 0,1% secara bulanan (MtM).
Deflasi ini menjadi sinyal baru perlambatan ekonomi Negeri Tirai Bambu dan langsung berdampak pada pelemahan mayoritas bursa saham Asia.
Namun di tengah tekanan tersebut, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih menunjukkan ketahanan. Pada sesi pembukaan perdagangan hari ini, IHSG dibuka melemah di level 6.918, namun masih berpeluang bergerak fluktuatif.
“IHSG diperkirakan akan bergerak dalam rentang 6.870–6.930 sepanjang sesi perdagangan hari ini,” ujar Pengamat Pasar Keuangan Sumatera Utara, Gunawan Benjamin, Rabu (9/7/2025).
Gunawan menyebut, pelaku pasar dalam negeri juga tengah menanti rilis data penjualan ritel nasional, yang menjadi satu-satunya indikator domestik penting pada pekan ini.
“Data ini akan lebih berpengaruh terhadap IHSG dibandingkan terhadap Rupiah, karena mencerminkan daya beli dan aktivitas konsumsi masyarakat,” jelasnya.
Berbeda dengan IHSG, nilai tukar Rupiah justru mengalami tekanan. Rupiah diperdagangkan melemah di level Rp16.255 per dolar AS, seiring dengan menguatnya Dolar AS secara global. Lonjakan imbal hasil obligasi AS (US Treasury) tenor 10 tahun yang kini berada di atas 4,4%, serta penguatan USD Index ke level 97,5, menjadi pendorong utama penguatan Dolar AS.
“Penguatan dolar mendorong tekanan terhadap mata uang Asia, termasuk Rupiah, yang hari ini diperkirakan bergerak dalam rentang Rp16.200–Rp16.280 per dolar AS,” kata Gunawan.
Sementara itu, harga emas dunia juga melemah, turun ke level USD 3.300 per troy ounce, atau sekitar Rp1,73 juta per gram di pasar domestik. Penurunan harga emas mencerminkan berkurangnya permintaan terhadap aset safe haven, meskipun dinamika global masih diliputi ketidakpastian.
Gunawan menambahkan, selain data-data ekonomi, pasar juga masih terus mencermati perkembangan negosiasi tarif impor Amerika Serikat yang hingga kini belum menunjukkan titik terang.
“Sentimen dari arah kebijakan perdagangan AS masih menjadi bayang-bayang utama pergerakan pasar global,” pungkasnya. (R)